Kamis, 17 Maret 2011

TEORI BELAJAR

Untuk memahami kegiatan dan proses belajar serta faktor-faktor yang menghambat kelancaran proses belajar, guru perlu memahami beberapa teori belajar. Pemahaman teori belajar memungkinkan guru dapat memprediksi hasil belajar serta membuat hipotesis kemajuan belajar siswa. Selain itu dengan bantuan teori, konsep dan prinsip-prinsip pembelajaran guru dapat mengelola pembelajaran menjadi lebih baik.

Terdapat perbedaan sudut pandang tentang teori dan proses belajar merupakan hal yang wajar. Namun perlu kita kaji kembali tiga teori yang paling sering disebut sebagai dasar pembelajaran, yaitu behaviourism, cognitivism dan constructivism.

BEHAVIORISME

Menurut aliran Behaviourism, belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Terjadinya perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru adalah hasil interaksi antara stimulus dan respon. Meskipun semua penganut aliran ini setuju dengan premis dasar ini, namun mereka berbeda pendapat dalam beberapa hal penting.

Menurut teori ini pebelajar sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya, yang akan memberikan -pengalaman tertentu kepadanya. Belajar atau learning terjadi bila ada perubahan tingkah laku yang terjadi berdasarkan paradigma S-R (Stimulus-Respons), yaitu suatu proses yang memberikan respons tertentu terhadap kejadian yang datang dari luar.

Proses S-R ini terdiri beberapa unsur, yaitu

1.   unsur dorongan atau drive. Siswa merasakan adanya dorongankebutuhan ini;
2. adanya rangsangan atau stimulus. Kepada siswa diberikan stimulus yang dapat memberikan respons;
3.  respons dari siswa yang berupa suatu reaksi (respons) terhadap stimulus yang diterimanya misalnya dengan melakukan tindakan nyata;
4.  unsur penguatan (reinforcement) yang perlu diberikan kepada pebelajar agar ia merasakan adanya kebutuhan untuk memberikan respons lagi.

Berikut tiga pakar Behaviourism yang berpandangan sama dalam hal S-R, yaitu hubungan stimulus-respon, namun juga berbeda pendapat dalam hal wujud dan faktor-faktor yang terjadi dalam proses belajar. (sumber: Bahan Ajar PEKERTI, 1995. Dikti).

1. Thorndike
Menurut Thorndike salah satu pendiri aliran tingkah laku, belajar adalah proses interaksi antara Stimulus (yang mungkin berupa pikiran, perasaan, atau gerakan) dan Respon (yang juga bisa berbentuk pikiran, perasaan, atau gerakan). Telasnya, menurut Thorndike, perubahan tingkah laku itu boleh berwujud sesuatu yang konkret (dapat diamati), atau yang non-konkret (tidak bisa diamati).

Meskipun Thorndike tidak menjelaskan bagaimana caranya mengukur berbagai tingkah laku yang non-konkret itu. Tetapi teori Thorndike telah banyak memberikan inspirasi kepada pakar lain yang datang sesudahnya. Teori Thorndike ini juga disebut sebagai aliran Koneksionis (Connectionism). Perlu diketahui bahwa pengukuran adalah satu hal yang menjadi obsesi semua penganut aliran tingkah laku.

2. Watson

Menurut Watson, pelopor lain yang datang sesudah Thorndike, stimulus dan respon tersebut harus berbentuk tingkah laku yang "bisa diamati" (observable). Dengan kata lain, Watson mengabaikan berbagai perubahan mental yang mungkin terjadi dalam belajar dan menganggapnya sebagai factor yang tak perlu diketahui. Hal ini tidak berarti bahwa semua perubahan mental yang terjadi dalam benak siswa tidak penting. Semua itu penting. Tetapi, faktor-faktor tersebut tidak bisa menjelaskan apakah proses belajar sudah terjadi atau belum.

Hanya dengan asumsi demikianlah, kata Watson, kita bisa meramalkan perubahan apa yang bakal terjadi pada siswa. Dan hanya dengan demikianlah psikologi dan ilmu tentang belajar dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu lain seperti fisika atau biologi yang sangat berorientasi pada pengalaman empirik.
Kita dapat melihat bahwa penganut aliran tingkah laku lebih suka memilih untuk tidak memikirkan hal-hal yang tidak bisa diukur, meskipun mereka tetap mengakui bahwa semua hal itu penting. Teori Watson ini juga disebut sebagai aliran Tingkah Laku (Behaviorism).

3. Skinner
Skinner, yang datang kemudian, mempunyai pendapat lain lagi dan mampu "menyederhanakan" kerumitan teorinya serta menjelaskan konsep-konsep yang ada dalam teorinya itu.

Menurut Skinner, deskripsi hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan perubahan tingkah laku (dalam hubungannya dengan lingkungan) menurut versi Watson tersebut di atas adalah deskripsi yang tidak lengkap. Respon yang diberikan oleh siswa tidaklah sesederhana itu, sebab pada dasarnya setiap stimulus yang diberikan berinteraksi satu dengan lainnya, dan interaksi ini akhirnya mempengaruhi respon yang dihasilkan. Sedangkan respon yang diberikan ini juga menghasilkan berbagai konsekwensi, yang pada gilirarmya akan mempengaruhi tingkah laku si siswa.

Karena itu; untuk memahami tingkah laku siswa secara tuntas, kita harus memahami hubungan antara satu stimulus dengan stimulus lainnya, memahami respon itu sendiri, dan berbagai konsekwensi yang diakibatkan oleh respon tersebut (Bell-Gredler, 1986).

Skinner juga menjelaskan bahwa menggunakan perubahan-perubahan mental sebagai alat untuk menjelaskan tingkah laku hanya akan membuat segala sesuarunya menjadi bertambah rumit, sebab "alat" itu akhirnya juga harus dijelaskan lagi. Misalnya, bila kita mengatakan bahwa "seorang siswa berprestasi buruk sebab siswa ini mengalami frustasi" akan menuntut kita untuk menjelaskan "apa itu frustasi". Dan teori Skinner ini besar pengaruhnya terhadap perkembangan teori belajar.

COGNITIVISME

Cognitivism menyatakan bahwa belajar adalah perubahan persepsi dan pemahaman yang tidak selalu terlihat sebagai tingkah laku. Teori ini lebih mementingkan proses belajar dari pada hasil belajar itu sendiri. Belajar melibatkan proses berpikir yang sangat kompleks. Teori ini sangat erat berhubungan dengan teori sibemetik.

Pada masa-masa awal mulai diperkenalkannya teori ini. Para ahli mencoba menjelaskan bagaimana siswa mengolah stimulus dan bagaimana siswa tersebut bisa sampai ke respon tertentu (pengaruh aliran tingkah laku masih terlihat di sini).

Menurut teori ini, ilmu pengetahuan dibangun dalam diri seorang individu melalui proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpatah-patah, terpisah-pisah, tapi melalui proses, yang mengalir, bersambung-sambung, menyeluruh. Dalam konsep ini keluarlah rumusan teori Gestalt. Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian/unsur. Terkait dengan ini sehingga dalam kegiatan belajar sebenarnya bermula dari pengamatan. Pengamatan itu penting dilakukan secara menyeluruh.

Menurut aliran teori belajar Ilmu Jiwa Gestalt, seorang belajar jika mendapatkan insight ( pengertian atau pemahaman ). Insight ini diperoleh seseorang melihat hubungan tertentu antara berbagai unsur dalam situasi tertentu. Adapun timbulnya Insight itu tergantung.

1. Kesanggupan : Maksudnya kesanggupan atau kemampuan intelgensia individu
2. Pengalaman : Karena belajar, berarti akan mendapatkan pengalaman dan pengalaman itu mempermudah muculnya insight.
3. Taraf Kompleksitas : Semakin kompleks semakin sulit.
4. Latihan : Dengan banyak latihan akan dapat mempertinggi kesanggupan memperoleh insight , dalam situasi-situasi yang bersamaan yang dilatih.
5. Trial and error : Sering seseorang itu tidak dapat memecahkan suatu masalah. Baru setelah mengadakan percobaan-percobaan, seseorang itu dapat menemukan hubungan berbagai unsur dalam problem itu, sehingga akhirnya menemukan insight.

Dari aliran Ilmu Jiwa Gestalt ini memberikan beberapa prinsip belajar yang penting , antara lain :

1. Manusia bereaksi dengan lingkunganya secara keseluruhan, tidak hanya secara intelektual, tetapi juga secara fisik, emosional, sosial dan sebagainya.
2. Belajar adalah penyesuaian diri dengan lingkungan.
3. Manusia berkembang secara keseluruhan sejak dari kecil sampai dewasa lengkap dengan segala aspek-aspeknya.
4. Belajar adalah perkembangan ke arah diferensiasi yang lebih luas.
5. Belajar hanya berhasil apabila dicapai kematangan untuk memperoleh insight.
6. Tidak mungkin ada belajar tanpa ada kemauan untuk belajar, motivasi memberi dorongan yang menggerakan seluruh organisme.
7. Belajar akan berhasil kalau ada tujuan.
8. Belajar merupakan suatu proses bila seseorang itu aktif, bukan suatu ibarat suatu bejana yang diisi.

Dalam praktek, teori ini antara lain terwujud dalam "tahap-tahap perkembangan" yang diusulkan oleh Jean Piaget, "belajar bermakna"-nya Ausubel, "belajar penemuan secara babas" {free discovery learning) oieh Jerome Bruner, dan teori interaksi sosial {Socially Mediated Learning) dengan model ZPD-nya Vygotsky.

1. Piaget
Menurut Piaget, proses belajar harus disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif yang dilalui siswa. Piaget membaginya menjadi empat tahap, yaitu:
1. tahap Sensorimotor (ketika anak berumur 1,5 sampai 2 tahun),
2. tahap Praoperasional (2/3 sampai 7/8 tahun),
3. tahap Operasional Konkret (7/8 sampai 12/14 tahun), dan
4. tahap Operasional Formal (14 tahun atau lebih).

Proses belajar yang dialami seorang anak pada tahap sensorimotor tentu lain dengan yang dialami seorang anak yang sudah mencapai tahap kedua (praoperasional), dan lain lagi yang dialami siswa lain yang telah sampai ke tahap yang lebih tinggi (operational konkrit dan operasional formal). Secara umum, semakin tinggi tingkat kognitif seseorang semakin teratur (dan juga semakin abstrak) cara berpikirnya. Maka, guru seyogyanya memahami tahap-tahap perkembangan anak didiknya ini, serta memberikan materi pelajar dalam jumlah dan jenis yang sesuai dengan tahap-tahap tersebut.

Guru yang mengajar harus memperhatikan tahapan-tahapan ini agar tidak menyulitkan siswanya. Misalnya saja,mengajarkan konsep-konsep abstrak tentang Pancasila kepada sekelompok siswa kelas dua SD, tanpa adanya usaha untuk "mengkonkretkan" konsep-konsep tersebut.

2. Ausubel
Menurut Ausubel, siswa akan belajar dengan baik jika apa yang disebut "pengatur kemajuan belajar (Advance Organizers) didefinisikan dan dipresentasikan dengan baik dan tepat kepada siswa. Pengatur kemajuan belajar adalah konsep atau informasi umum yang- mewadahi (mencakup) semua isi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa.

Ausubel percaya bahwa "advance organizers" dapat memberikan tiga macam manfaat, yakni:

a. Dapat menyediakan suatu kerangka konseptual untuk materi belajar yang akan dipelajari oleh siswa;
b. Dapat berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan antara apa yang sedang dipelajari siswa "saat ini" dengan apa yang "akan" dipelajari siswa; dan
c. Mampu membantu siswa untuk memahami bahan belajar secara lebih mudah.

Untuk ini, pengetahuan dan penguasaan guru terhadap isi mata pelajaran harus sangat baik. Hanya dengan demikian seorang guru akan mampu menemukan informasi, yang manurut Ausubel "sangat abstrak, umum, dan inklusif", yang mewadahi apa yang akan diajarkan itu. Selain itu, logika pikir guru juga dituntut sebaik mungkin. Tanpa memiliki logika berpikir yang baik, guru akan mendapat kesulitan memilah-milah materi pelajaran, merumuskannya dalam rumusan yang singkat dan padat, serta mengurutkan materi demi materi ini ke dalam struktur urutan yang logis dan mudah dipahami.

3. Bruner

Bruner mengusulkan teorinya yang disebut "free discovery learning". Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila guru kreatif dan memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan suatu aturan (termasuk konsep, teori, definisi) melalui contoh-contoh yang menggambarkan (mewakili) aturan yang menjadi sumbernya.

Dengan kata lain, siswa dibimbing secara induktif untuk memahami suatu kebenaran umum. Untuk memahami konsep "kejujuran", misalnya, siswa tidak pertama-tama menghafal definisi kata itu, tetapi mempelajari contoh-contoh konkret tentang kejujuran, dan dari contoh-contoh itulah siswa dibimbing untuk mendefinisikan kata "kejujuran".

Lawan dari pendekatan ini disebut "belajar ekspositori" (belajar dengan cara menjelaskan). Dalam hal ini, siswa disodori sebuah informasi umum dan diminta untuk menjelaskan informasi ini melalui contoh-contoh khusus dan konkret. Dalam contoh di atas, siswa pertama-tama diberi definisi tentang "kejujuran", dan dari definisi itulah siswa diminta untuk mencari contoh-contoh konkret yang dapat menggambarkan makna kata tersebut. Proses belajar ini jelas berjalan secara deduktif.

Istilah strategi kognitif dipakai oleh Arends (1988) untuk strategi berpikir yang bersifat komplek yang berkenaan dengan kecakapan menerima, menyimpan, dan mencari kembali informasi.

CONTRUCTIVISM

Menurut ahli para Constructivism, "belajar" merupakan pemakna pengetahuan. Sedangkan pengetahuan bersifat temporer, selalu berubah. Karena segala sesuatu bersifat temporer maka manusialah yang harus memberi makna terhadap realitas. Dalam hal ini belajar adalah proses pemaknaan informasi baru.

Pada kenyataannya kita tidak pernah memperoleh pengetahuan yang telah jadi atau dalam paket-paket, yang dapat dipersepsi secara langsung. Semua pengetahuan, metode untuk mengetahui, dan berbagai disiplin ilmu yang ada dalam masyarakat dibangun (constructed) oleh pikiran manusia.

Constructivism adalah salah satu filsafat yang percaya bahwa pengetahuan yang kita miliki adalah hasil konstruksi (bentukan) kita sendiri (Von Glasersfeld, 1988 dan Matthews, 1944 dalam Suparno 1997), Pengetahuan bukan gambaran dari dunia kenyataan yang ada, tetapi merupakan akibat dari suatu konstruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Proses pembentukan pengetahuan ini berjalan terus menerus dan setiap kali ada reorganisasi karena terjadi suatu pemahaman baru.

Para ahli teori konstruktif percaya bahwa pengetahuan itu tidak dapat begitu saja dipindahkan dari otak seseorang (guru) ke kepala yang diajar (siswa). Siswa sendiri yang harus mengartikan atau memberi makna apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman—pengalaman mereka. (Lorsbach & Tobin, 1992 dalam Suparno, 1997).

Maka penting bagi calon guru, menurut Northfieid, Gunstone, dan Erickson (1996) untuk selalu aktif mengkonstruksi pengetahuan mereka. Guru perlu belajar bagaimana mengajar secara konstruktif, mendalami bahan dan bidang ilmunya secara mendalam dan luas. Salah satu dasar atau prinsip pembelajaran kontekstual (CTL) adalah filsafat konstruktivisme.

Berdasarkan sejumlah literatur tentang konstruktivisme, Widodo (2004) mengidentifikasi lima hal penting yang berkaitan dengan pembelajaran.

1. Pertama, pembelajar telah memiliki pengetahuan awal
Tidak ada pembelajar yang otaknya benar-benar kosong. Pengetahuan awal yang dimiliki pembelajar memainkan peran penting pada seat dia belajar tentang sesuatu hal yang ada kaitannya dengan apa yang telah diketahui.

2. Kedua, belajar merupakan proses pengkonstruksian suatu pengetahuan berdasarkan pengetahuan yang telah dimiliki
Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari suatu sumber ke penerima, namun pembelajar sendirilah yang mengkonstruk pengetahuan.

3. Ketiga, belajar adalah perubahan konsepsi pembelajar
Karena pembelajar telah memiliki pengetahuan awal, maka belajar adalah proses mengubah pengetahuan awal siswa sehingga sesuai dengan konsep yang diyakini "benar" atau agar pengetahuan awal siswa bisa berkembang menjadi suatu konstruk pengetahuan yang lebih besar.

4. Keempat, proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam suatu
konteks sosial tertentu.
Sekalipun proses pengkonstruksian pengetahuan berlangsung dalam otak masing-masing individu, namun sosial memainkan peran penting dalam proses tersebut sebab individu tidak terpisah dari individu lainnya.

5. Kelima, pembelajar bertanggung jawab terhadap proses belajarnya.
Guru atau siapapun tidak dapat memaksa siswa untuk belajar sebab tidak ada seorangpun yang bisa "mengatur" proses berpikir orang lain. Guru hanyalah menyiapkan kondisi yang memungkinkan siswa belajar, namun apakah siswa benar-benar belajar tergantung sepenuhnya pada diri pembelajar itu sendiri.

HUMANISME

Menurut Teori humanistik, tujuan belajar adalah untuk memanusiakan manusia. Tujuan utama para pendidik adalah membantu si siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan membantu dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada dalam diri mereka. Tokoh penting dalam teori belajar humanistik antara lain adalah: Arthur W. Combs, Abraham Maslow dan Carl Rogers.

Arthur Combs (1912-1999)

Bersama dengan Donald Snygg (1904-1967) mereka mencurahkan banyak perhatian pada dunia pendidikan. Meaning (makna atau arti) adalah konsep dasar yang sering digunakan. Belajar terjadi bila mempunyai arti bagi individu. Guru tidak bisa memaksakan materi yang tidak disukai atau tidak relevan dengan kehidupan mereka. Anak tidak bisa matematika atau sejarah bukan karena bodoh tetapi karena mereka enggan dan terpaksa dan merasa sebenarnya tidak ada alasan penting mereka harus mempelajarinya. Perilaku buruk itu sebenarnya tak lain hanyalah dati ketidakmampuan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya.

Untuk itu guru harus memahami perlaku siswa dengan mencoba memahami dunia persepsi siswa tersebut sehingga apabila ingin merubah perilakunya, guru harus berusaha merubah keyakinan atau pandangan siswa yang ada. Perilaku internal membedakan seseorang dari yang lain. Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila materi pelajarannya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada materi pelajaran itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari materi pelajaran tersebut dan menghubungkannya dengan kehidupannya.

Maslow

Teori Maslow didasarkan pada asumsi bahwa di dalam diri individu ada dua hal :

1. suatu usaha yang positif untuk berkembang.
2. kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu. Maslow mengemukakan bahwa individu berperilaku dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat hirarkis.

Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya, tetapi di sisi lain seseorang juga memiliki dorongan untuk lebih maju ke arah keutuhan, keunikan diri, ke arah berfungsinya semua kemampuan, ke arah kepercayaan diri menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri(self).

Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan ras aman dan seterusnya. Hierarki kebutuhan manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus diperharikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar ini mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.

Carl Rogers

Carl Rogers lahir 8 Januari 1902 di Oak Park, Illinois Chicago, sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Semula Rogers menekuni bidang agama tetapi akhirnya pindah ke bidang psikologi. Ia mempelajari psikologi klinis di Universitas Columbia dan mendapat gelar Ph.D pada tahun 1931, sebelumnya ia telah merintis kerja klinis di Rochester Society untuk mencegah kekerasan pada anak. Gelar profesor diterima di Ohio State tahun 1960. Tahun 1942, ia menulis buku pertamanya, Counseling and Psychotherapy dan secara bertahap mengembangkan konsep Client-Centerd Therapy.

Rogers membedakan dua tipe belajar, yaitu: Kognitif (kebermaknaan) dan experiential ( pengalaman atau signifikansi)

Guru menghubungan pengetahuan akademik ke dalam pengetahuan terpakai seperti memperlajari mesin dengan tujuan untuk memperbaikai mobil. Experiential Learning menunjuk pada pemenuhan kebutuhan dan keinginan siswa. Kualitas belajar experiential learning mencakup : keterlibatan siswa secara personal, berinisiatif, evaluasi oleh siswa sendiri, dan adanya efek yang membekas pada siswa.

Menurut Rogers yang terpenting dalam proses pembelajaran adalah pentingnya guru memperhatikan prinsip pendidikan dan pembelajaran, yaitu: Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Siswa tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.

Siswa akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya. Pengorganisasian bahan pelajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa. Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi siswa. Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses, kata Rogers.

Dalam bukunya Freedom To Learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip dasar humanistik yang penting diantaranya ialah :

1. Manusia itu mempunyai kemampuan belajar secara alami.
2. Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan murid mempunyai relevansi dengan maksud-maksud sendiri.
3. Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya sendiri diangap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
4. Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah dirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil. Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar.
5. Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
6. Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggungjawab terhadap proses belajar itu.

Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari. Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri dan penilaian dari orang lain merupakan cara kedua yang penting. Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah belajar mengenai proses belajar, suatu keterbukaan yang terus menerus terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam diri sendiri mengenai proses perubahan itu.

Salah satu model pendidikan terbuka mencakup konsep mengajar guru yang fasilitatif yang dikembangkan Rogers diteliti oleh Aspy dan Roebuck pada tahun 1975 mengenai kemampuan para guru untuk menciptakan kondisi yang mendukung yaitu empati, penghargaan dan umpan balik positif.

Ciri-ciri guru yang fasilitatif adalah :

1. Merespon perasaan siswa,
2. Menggunakan ide-ide siswa untuk melaksanakan interaksi yang sudah dirancang.
3. Berdialog dan berdiskusi dengan siswa
4. Menghargai siswa.
5. Kesesuaian antara perilaku dan perbuatan,
6. Menyesuaikan isi kerangka berpikir siswa (penjelasan untuk mementapkan kebutuhan segera dari siswa),
7. Tersenyum pada siswa

GendhengS, 17mar11